Kamis, 02 Agustus 2012

Kesenian Glipang





Di sebuah desa yang ada di daerah Kabupaten Probolinggo bagian tenggara, tepatnya di Desa Pendil, Kecamatan Banyuanyar, ada satu jenis kesenian tradisional yang bernama glipang. Konon, istilah “glipang” berasal dari bahasa Arab “goliban” yang mengandung makna suatu kegiatan keseharian yang dilakukan oleh para santri di dalam pondok. Kesenian yang menggambarkan tentang cerita kehidupan sehari-hari yang bernafaskan Islam ini disajikan dalam bentuk tari yang diiringi musik dan disertai dengan dialog dalam bahasa Jawa, Madura dan disisipi sedikit bahasa Arab.
Kesenian glipang dicipatakan oleh Sutrisno pada tahun 1935. Sutrisno adalah seorang pendatang dari Pulau Madura yang menetap di Desa Pendil. Mula-mula ia bekerja sebagai mandor penebang tebu di pabrik gula Sebaung, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo. Namun, karena sering terjadi pertentangan dengan sinder-sinder Belanda yang bertindak sewenang-wenang, maka Sutrisno memilih berhenti dari pekerjaannya sebagai mandor.
Setelah keluar dari pabrik gula milik Belanda tersebut, dengan daya kekreatifannya, Sutrisno menangkap keluhan-keluhan rekannya sesama pekerja pabrik terhadap sinder-sinder Belanda itu kemudian meramunya menjadi sebuah bentuk drama tari yang disebut kiprak glipang. Jadi, dahulu glipang adalah suatu kesenian yang bertujuan untuk mengingatkan para penguasa melalui sindiran-sindiran halus yang disampaikan dalam bentuk drama tari agar jangan bertindak sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaannya. Dalam perkembangannya, saat ini kesenian yang telah menyebar ke Kabupaten Lumajang, Jember dan Pasuruan, hanya dimanfaatkan sebagai sarana hiburan pelepas rutinitas keseharian. 
Peralatan dan Tempat
Peralatan musik yang digunakan untuk mengiring pertunjukan glipang terdiri atas: (1) dua buah ketipung besar, yaitu lake’an dan bhine’an. Kedua ketipung tersebut ditabuh tingkah meningkah atau saling mengisi. Ketipung lake’an (laki-laki) berfungsi sebagai pemimpin yang memberikan tekanan-tekanan pada gerak tarian; (2) satu buah jedor yang berfungsi untuk memberikan tekanan-tekanan tertentu agar irama menjadi konstan; dan (3) tiga sampai lima buah terbang atau kecrek yang berfungsi mengisi lagu dengan cara memberikan suara di antara degupan.
Pertunjukan glipang biasanya diadakan pada saat ada upacara-upacara, seperti perkawinan, bersih desa, panen raya dan hari-hari besar lainnya. Pertunjukkan yang kurang lebih memakan waktu tujuh jam ini dilakukan pada malam hari dan biasanya bertempat di pendopo atau halaman rumah dengan penerangan lampu petromaks atau listrik. 
Pertunjukan Glipang
Pertunjukan glipang diawali dengan penampilan tari ngremo glipang atau tari kiprak glipang, kemudian berlanjut dengan tari baris yang dibawakan oleh seorang penari pria dan biasanya diiringi seorang pelawak pria. Setelah tari baris, disusul dengan penampilan tari pertemuan yang dibawakan oleh beberapa penari pria dan wanita secara berpasangan. Bersamaan dengan penampilan tari pertemuan ini, muncul dua orang pelawak (pria dan wanita) dalam arena yang akan menggoyang senyum dan tawa penonton. Para pelawak ini tidak hanya sekedar melawak, tetapi juga memainkan beberapa jenis tarian lain yang berakar pada gerakan-gerakan pencak silat. Kemudian, dimulailah babak-babak lakon pendek yang menceritakan tentang kehidupan sehari-hari yang bernafaskan Islam atau bergantung dari selera penonton atau penanggap. Sebagai catatan, pada lakon-lakon pendek ini ada suatu babak khusus yang ditampilkan secara berulang-ulang karena dianggap penting atau digemari oleh penonton. Pengulangan babak khusus tersebut dianggap sebagai suatu “pemantapan lakon” yang apabila dipadatkan atau dikurangi akan menyalahi aturan yang berlaku dalam kesenian glipang. Setelah babak “pemantapan”, babak lakon dilanjutkan kembali hingga berakhirnya pertunjukan.
Secara umum dapat diutarakan ciri-ciri penyajian kesenian Glipang:

-         Pola penyajian memiliki struktur tertentu dan tema tertentu.

-         Lagu-lagu bernafaskan agama Islam.
-         Alat musik yang digunakan terdiri dari satu jedhor, dua ketipung besar (lake’an dan bhine’an), tiga sampai lima terbang/kecrek.
-         Pola permainan musik merupakan ansamble dari jedhor, terbang/kecrek dan vokal.
-         Bahasa yang digunakan dalam vokal/dialog ialah bahasa Jawa dan Madura dibumbui bahasa Arab.
-         Unsur-unsur gerak, kreativitas pribadi dari unsur-unsur gerak pencak silat.
-         Tokoh-tokoh pelaku sesuai dengan lakon yang dibawakan.
Fungsi kesenian glipang
Dalam kehidupan sehari-hai masyarakat Probolinggo, kesenian Glipang tetap semarak sebagai suatu jenis kesenian yang digemari oleh rakyat. Kesenian Glipang sering ditampilkan pada acara-acara resepsi, bersih desa, panen raya, hajatan keluarga dan sebagainya. Jelaslah bahwa kesenian Glipang dapat dimanfaatkan sebagai suatu sosio drama, untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan yang menjadi program pemerintah, untuk menciptakan suasana persatuan dan kesatuan di kalangan rakyat, acara khusus dan melestarikan warisan seni budaya yang memiliki nilai-nilai luhur.




Musik pengiring
Kesenian Glipang kecuali disajikan dalam bentuk tari dan drama (sandiwara) juga diiringi musik dan vokal.
Alat musik yang digunakan terdiri dari:
-     Dua ketipung besar, yakni lake’an dan bhine’an, ditabuh tingkah meningkah (saling mengisi). Ketimpung laki-laki (lake’an) berfungsi memimpin dan memberikan tekanan-tekanan gerak.
-         Satu jedhor, untuk memberikan tekanan-tekanan tertentu untuk semelehnya (konstannya) irama.
-         Tiga sampai lima terbang/kecrek, berfungsi mengisi lagu dengan cara memberikan suara di antara degupan.
Lagu-lagu yang dibawakan:
-         Lagu Awayaro, sebagai lagu pembukaan menjelang penyajian tari kiprak Glipang.
-         Pantun berlagu bebas, dibawakan secara bergantian pada penyajian tari pertemuan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar